Senin, 01 Desember 2008

you gave no effort for your salvation

Setiap tahun kita merayakan jumat agung dan paskah. Terkadang perayaan yang begitu rutin membuat kita hampir tidak merasakan greget perayaan itu lagi. Kesibukan mempersiapkan Paskah membuat emosi kita tercurah untuk persiapan itu, dan ketika tiba saatnya kita mengenang pengorbanan Kristus, emosi itu sudah habis, tidak ada rasa lagi.

Tahun ini tampaknya hal itu akan terjadi lagi. Rasa tidak ada rasa itu sangat mengganggu. Mengapa kita begitu dingin saat mengenang Dia ? Mengapa kita begitu terbiasa merayakannya sehingga seolah kita merasa bahwa semua anugrah yang kita terima memang selayaknya kita terima ?

Padahal manusia sejak lahir sudah berdosa, sudah tidak mungkin dekat-dekat Allah lagi. Mau berusaha sampai mati pun kita tidak mungkin bisa mendekati Allah. Kita cuma punya satu jalur, bukan dua, tidak ada jalur alternatif, jalur kita cuma satu, jalan tol menuju kematian. Kalau bukan Allah yang berinisiatif mendekati kita, maka tidak mungkin kita bisa menghampiri Dia.

Bukan cuma mendekati, Dia juga mengusahakan supaya kita layak didekati. Dia mau mati buat menggantikan kita. Bukan cuma mati fisik, tapi Dia menanggung murka Allah yang maha dahsyat, Dia ditinggalkan Allah Bapa di tengah kesengsaraanNya. Gara-gara kita, kesatuan Allah Tritunggal pernah diceraikan.

Memang terhukum mati tidak mungkin dapat menggantikan vonis hukuman mati dari terhukum lain. Kalau dia menanggung hukuman mati orang lain, nah, siapa dong yang menggantikan vonis hukuman mati -nya sendiri ? Demikian juga semua manusia yang sudah divonis mati tidak mungkin dapat menebus baik dirinya sendiri atau manusia lainnya. Hanya dia yang bersih yang dapat menggantikan menanggung vonis tersebut untuk manusia. Dan tidak ada satu manusiapun yang bersih kecuali Tuhan sendiri yang berinkarnasi menjadi manusia.

Pengorbanan itu murni dilakukan karena kasih. Kita kejatuhan kasih, bukan karena kita manis, baik, hebat atau unggul. Tidak ada sedikitpun usaha kita yang membuat kita layak mendapatkan kasih sebesar itu. Kita hanya disayangi dengan kasih yang dalam.

Sedih jika membayangkan kasih sedalam itu kita sambut dengan dingin. Seberapa parah hati kita sudah dibekukan oleh rutinitas ?

Tidak ada komentar: