Rabu, 13 Februari 2013

Jaring Pengaman / Jaring Kematian... Judul Alternatif : Live Hard ( not Die Hard )

Dahulu, saat seorang anak gagal dalam ujiannya, maka nilai rapornya akan turun dan jika kegagalan tersebut cukup signifikan, maka ada kemungkinan ia akan tinggal kelas. Saat ini jika seorang anak gagal dalam ujian, maka ada mekanisme “Remidi” (yang mungkin berasal dari kata Remedy ?) sehingga ia dapat mengulang ujiannya dengan soal yang cukup mirip hingga ia lolos. Hal yang sama berlaku untuk Ujian Nasional.

Saat ini, menurut pengamatan saya, baik orang tua maupun pihak sekolah seolah membentangkan jaring pengaman yang maha besar untuk menjaga agar seorang anak tidak terluka dan merana, secara psikis dijaga agar si anak tidak minder (jangan mencela, menghukum dan memarahi karena akan melukai psikologinya) dan tidak tertekan (jangan dipaksa untuk belajar lebih banyak) serta memiliki kepercayaan diri (selalu dipuji bahkan untuk hasil yang kurang baik) secara material dijaga agar seluruh kebutuhan terpenuhi tanpa si anak bersusah payah (segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk sekolah harus ada, semua alat komunikasi harus ada karena semua temannya punya), dan dalam pendidikan pun dijaga agar si anak jalannya mulus dan lancar dengan segala macam guru les, bimbingan belajar, modul ringkasan (biar tidak menghafal dari buku yang tebal) dan remidi. Yang menjadi pertanyaan, hingga umur berapakah seorang anak membutuhkan jaring pengaman ini? Hingga umur berapakah seorang anak masih layak disebut “kanak-kanak” ?

Jaring pengaman yang dipasang melewati masa kedaluarsanya akhirnya malah menjadi jaring yang mematikan. Seorang anak yang saat ini bukan lagi anak-anak, akhirnya menjadi orang yang hidup di alam yang indah semu, tidak menyadari bahaya di sekitarnya, dan tidak hati-hati karena sudah terlalu terbiasa menjadi teledor, sayangnya saat jaring tersebut hilang, lingkungan yang keras dan kebiasaan teledor tersebut akan menyakitkan si anak yang secara usia sudah sangat dewasa, karena saat selip dan jatuh, tidak ada jaring pengaman, dan karena tidak siap jatuh, maka jatuhnya akan sangat menyakitkan. Jika anak yang dewasa ini tidak dapat mengatasi jatuhnya diri tersebut, maka dia tidak akan dapat melanjutkan hidupnya.

Setiap anak seharusnya bukan dilindungi oleh jaring pengaman tetapi diajar untuk menjalani hidupnya kelak. Saya tidak pernah melihat orang tua jaman dahulu yang memasang pakaian dan semua alat-alat keamanan pada diri seorang anak yang belajar berjalan, tetapi orang tua selalu berada di dekat si anak agar mudah menolong saat si anak terjatuh, dan menjaga agar jatuhnya tidak fatal. Biarkan si anak memilih aksinya dan menanggung hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dari pilihannya. Life are supposed to be challenging. Hidup tidak akan mudah. Teach the child to live hard, not to die hard. Seorang pembimbing yang baik akan membimbing si anak untuk mampu dan berprestasi dengan hidup dengan keras, saat dewasa nanti si anak akan menjadi pejuang yang bertanggungjawab. Dengan boomingnya segala macam film tentang superhero, seharusnya setiap orang tua dan guru dapat melihat, bahkan dalam cerita-cerita superhero pun, pada saat pertama kali seorang superhero dibimbing dengan keras, diajar untuk menerima konsekuensi baik yang enak maupun tidak enak atas perbuatannya.

Maka jika menemukan mayoritas pemuda sekarang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab, tidak mau menanggung konsekuensi, sebenarnya kesalahan terbesar perlu ditujukan kepada orang-orang yang memasang jaring pengaman dengan terlalu berlebihan. Seorang mahasiswa dengan kemampuan yang minim tidak berusaha untuk menambah kemampuan, tetapi tidak siap menghadapi konsekuensi bahwa kemampuannya tidak cukup untuk dunia kerja. Seorang mahasiswa yang kurang keras belajar sehingga tidak lulus dalam sebuah mata kuliah, terkadang tidak mau menerima konsekuensi bahwa ia mungkin dapat tertunda wisudanya. Seorang mahasiswa yang tidak teliti dan asal-asalan dalam perencanaan studinya, juga tidak mau menerima konsekuensi bahwa kelulusannya dapat tertunda. Seorang mahasiswa yang pernah melakukan kecurangan sulit menerima konsekuensi bahwa ia dapat dikeluarkan dari universitasnya. Seorang mahasiswa yang kurang mementingkan kuliah sehingga total nilainya rendah, tidak mau menerima konsekuensi bahwa ia dapat di-drop out. Seorang mahasiswa yang membuat tugasnya saat detik-detik terakhir, tidak mau menerima konsekuensi bahwa jika ada kendala yang terjadi di saat-saat terakhir maka dosen tidak harus memakluminya. Dengan ketidakdewasaan semacam itu, maka mereka akan mudah tergerus saat masuk ke mesin kehidupan yang keras. Lulusan (kalau lulus) dengan kemampuan minim akan heran mengapa ia tidak dapat memperoleh pekerjaan, lulusan yang berhasil mendapat pekerjaan akan menjadi sangat penuntut dan bekerja seadanya, tidak memiliki inisiatif dan kreatifitas, bekerja hanya mengerjakan apa yang disuruh dengan asal-asalan, setiap ada kegagalan maka yang pertama dicari adalah siapa yang bersalah karena tidak mendukung, dan pekerja semacam ini mungkin akhirnya akan menjadi kutu loncat, baik pindah-pindah tempat pekerjaan, ataupun pindah-pindah profesi, karena tidak mampu menangani kesulitan dan ketidakenakan dalam bekerja. Dan saat usianya telah sangat dewasa, mereka akan menjadi sadar bahwa selama ini hidup dalam alam buatan dan menyadari sekarang alam itu sudah tidak ada, tetapi kesadaran ini terkadang membawa bibit keputusasaan yang berujung pada pemilihan pemecahan masalah yang lebih salah lagi.

Oleh karena itu, hai para orang tua dan pendidik, mari walau mungkin sudah agak terlambat, tetapi mari kita pakai waktu yang ada untuk mempersiapkan superhero-superhero ini untuk menghadapi para villain yang maha kejam. Mari tunjukkan kryptonite mereka masing-masing, dan ajar mereka untuk menerima akibatnya.