Kamis, 21 Mei 2009

After 30 (judul alternatif : Dokter cilik, dai cilik, penyiar cilik, insinyur cilik dan segala yang cilik-cilik...)

Saat membaca pemberitaan di surat kabar, dan dari hasil menguping pembicaraan ibu-ibu baik di angkot, maupun saat lagi mampir ke sekolah-sekolah, saya mengamati ada sebuah fenomena yang belakangan ini menjadi ukuran keberhasilan. Hal itu adalah pencapaian pada usia yang belum waktunya.

Seseorang saat ini dihargai tidak cukup dari apa yang berhasil dicapainya, tetapi juga dari kapan ia berhasil mencapainya. Jadi jika pakde saya adalah direktur sebuah perusahaan, pernyataan itu tidak terlalu menarik minat, toh jaman sekarang direktur sudah banyak di mana-mana, tetapi jika saya menyatakan keponakan saya yang masih 12 tahun sudah menjadi direktur, nah, baru kepala-kepala itu akan menoleh. Prestasi jadi terasa belum begitu jreeeenng kalau tidak dibarengi dengan masa pencapaian yang lebih cepat dari kewajaran.

Yah, semua pasti setuju bahwa waktu itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin karena waktu tidak dapat berulang. Semua pasti mengamini kalau kita bisa mencapainya dengan cepat, mengapa harus diperlambat ? Saya juga amat setuju dengan hal itu. Tetapi apakah fenomena yang ada saat ini bersesuaian dengan falsafah waktu tadi ?

Kelas Percepatan

Coba kita lihat, berapa banyak kelas percepatan yang disediakan. Betapa para ibu dan bapak yang terhormat membanggakan betapa anak-anak mereka masuk kelas percepatan.

Dahulu tidak ada kelas percepatan, tetapi terkadang ada satu atau dua anak jenius yang dapat lompat kelas, jadi mereka dapat menyelesaikan sekolah lebih cepat dari seharusnya. Pada jaman kuliah, mahasiswa-mahasiswa canggih juga dapat selesai lebih cepat dengan mengambil mata kuliah yang lebih banyak dari rekan-rekan lainnya tiap semester.

Jadi bedanya apa dengan kelas percepatan ini ? Bedanya adalah jumlah siswa lompat kelas sangat sedikit dan mahasiswa yang lulus lebih cepat juga sangat sedikit, sedangkan siswa kelas percepatan walaupun masih minoritas tetapi jumlahnya terbilang lumayan. Apakah lebih banyak siswa pintar ? Ternyata di koran saya membaca ada ibu yang membanggakan anaknya yang ikut kelas percepatan dengan menyatakan bahwa anak ini belajar 11 jam sehari di luar jam sekolah. Wow ! Anak ini juga masih diperlengkapi dengan kursus-kursus.

Jika anak ini memang benar pintar, apakah ia membutuhkan berbagai kursus ? Apakah ia perlu menghabiskan seluruh waktunya dalam sehari untuk belajar ? Jadi sebenarnya anak ini didorong di luar batas kemampuannya bukan ? Anak ini sebenarnya tumbuh normal, tetapi ia dipaksa untuk lebih cepat dan cepat dan cepat. Ini tidak normal.


Pembabadan kurikulum

Kurikulum juga menjadi korban falsafah cepat, cepat dan cepat saat ini. Sudah berapa banyak kurikulum di universitas yang dipangkas habis supaya mahasiswanya dapat lulus dengan cepat. Jika dulu mahasiswa brilian dapat lulus dengan cepat, maka sekarang mahasiswa ogah-ogahan pun dapat lulus lumayan cepat karena kalau dulu mahasiswa yang lulus cepat karena ia mampu menyesuaikan kemampuan otaknya dengan beban kuliah, sekarang beban kuliah harus disesuaikan dengan kemampuan otak rata-rata. Bagi saya ini juga tidak normal.

Kesimpulan

Seperti saya nyatakan sebelumnya, menjadi dokter, pendeta, dai, penyiar, insinyur dan sebagainya itu biasa, yang luar biasa adalah kalau mereka masih sangat muda. Tanpa menyebut nama saya membaca ada seorang pendeta yang membanggakan bahwa ia telah mencapai gelar rohaniwan itu di usia yang boleh dibilang masih sangat muda sehingga sebelum usia 30 tahun ia telah mencapai berbagai macam hal.

Sebenarnya falsafah tentang waktu tadi apakah berarti maka lakukan sesuatu sebelum waktunya agar tidak membuang-buang waktu ? Atau artinya adalah lakukan sesuatu tepat pada saatnya, jangan ditunda ? Jika Yesus yang pada usia 12 tahun dengan hebat dapat berdebat dengan ahli-ahli agama terhebat pada jamannya, mengapa Ia baru mulai aktif bekerja pada usia 30 tahun ? Apakah berarti Yesus membuang 18 tahun usianya untuk kesia-siaan ? Ataukah sebenarnya Ia menunggu pada saat yang tepat. Kata kuncinya adalah pada kata TEPAT. Tepat pada waktunya adalah waktu yang terbaik, tidak dibuat lebih lambat, tetapi juga tidak dibuat lebih cepat. Maka Yesus tidak bersalah, tidak membuang waktu, tetapi Ia memanfaatkan waktunya dengan baik. Jika kita memakai segala cara yang tidak tepat untuk mempercepat proses dengan tujuan yang tidak jelas, maka sebenarnya kita sudah membuang waktu kita untuk hal yang tidak tepat. Semoga hal ini dijauhkan dari dunia pendidikan.