Minggu, 04 Januari 2009

Gelap itu indah ?

Suatu kali saya mendengar seorang pendeta [1] menyatakan bahwa manusia semakin lama semakin menyukai kegelapan. Benarkah ? Ya, benar. Siapa yang bisa menyangkal bahwa suasana malam hari sering tampak sangat indah. Siapa yang bisa menyangkal keindahan pemandangan saat sunset. Dan saya sendiri sangat senang dan menikmati jika ada yang membuat saya harus berputar-putar kota pada malam hari, saya sangat menyukai pemandangan dan suasana kota saat malam hari.

Selain itu banyak film atau cerita yang indah adalah film atau cerita yang bertema gelap. Film atau cerita itu indah karena kegelapannya. Jika film atau cerita itu tidak dibuat gelap mungkin hasilnya tidak seindah itu. Mungkin hasilnya hanya lumayan saja (seperti hasil karya seorang penulis di film Stranger Than Fiction yang akhirnya mendapat komentar hanya “lumayan” saat dia mengubah endingnya yang biasanya gelap dan tragis menjadi penuh harapan).

Yang terakhir, suatu ketika saya mendengar ada sebuah resto yang dibuat khusus dengan suasana yang gelap-lap. Filosofinya adalah bahwa jika sebuah indra dimatikan, indra lain akan menjadi lebih peka, jadi jika penglihatan dihilangkan, maka indra perasa dan pengecap akan lebih peka, sehingga rasa makanan akan jauh lebih lezat, teorinya begitu. Padahal kepekaan indra seorang buta apakah bisa diperoleh dalam waktu sejam saja ya ? Bukannya dia menjadi peka setelah beberapa lama menjadi orang buta ? Yah, ini teori saya yang tidak percaya dengan teori kepekaan pengecap yang tercipta dalam beberapa menit itu. Toh indra pengecap kita terbukti mudah ditipu dalam gelap, seorang mahasiswa dalam masa orientasi dengan mata ditutup akan merasa jijik dan muak saat ia makan mie jika ia ditipu bahwa yang ia makan adalah cacing, jadi peka apanya ? Tampaknya indra perasa amat dipengaruhi oleh indra penglihatan dan penciuman, itulah sebabnya makanan selain lezat sebaiknya juga tampak menggiurkan dan baunya sedap pula. Walau demikian, trend restoran gelap ini tampaknya juga mendukung teori bahwa manusia sekarang semakin cinta gelap.

Tetapi jika kita memperhatikan lebih jauh, sebenarnya keindahan dari suatu kegelapan terletak bukan pada kegelapan itu sendiri. Saat saya berkeliling kota di waktu malam, yang membuat kota tampak indah adalah temaram lampu jalanan. Kerlingan lampu-lampu yang cahayanya berkelap-kelip dapat membuat malam hari tampak menakjubkan. Jika semua lampu itu dimatikan, tetapi masih ada bulan yang bercahaya redup, mungkin keindahan alam masih tampak, tetapi jika bahkan bulan pun tiada, maka malam hari tidak akan indah lagi. Sebuah film atau cerita yang gelap akan tampak indah dan menarik untuk dikenang jika realitas hidup yang kita jalani sekarang tidak segelap itu. Jika hidup kita dulu segelap cerita itu, tetapi sekarang kita sudah mengalami terang maka kita masih bisa menikmati cerita itu. Jika hidup kita sekarang pun masih gelap, tetapi film tersebut berakhir dengan terang, maka kita memiliki harapan bahwa hidup kita pun akan menjadi terang. Tetapi jika hidup kita gelap, dan cerita tersebut jika berakhir dengan gelap, akankah kita masih menikmati cerita tersebut yang bukannya membawa harapan tetapi menyodorkan keputusasaan? Restoran yang menawarkan kegelapan sebenarnya bukan menawarkan kegelapan tetapi menawarkan terang yang lebih dari indra perasa (setidaknya secara konsep).

Jadi mungkin sebenarnya tanpa disadari manusia menyukai kegelapan karena dalam kegelapan itu terang yang sekecil apa pun, jadi tampak lebih nyata. Saat manusia menyukai “gelap” di satu sisi, di lain sisi sebenarnya dia walau tak mau mengakui, memuja “terang”. Yang tidak disadari oleh manusia, sebenarnya saat dirinya terbius dengan keindahan terang di dalam kegelapan itu, ia melupakan fakta bahwa banyaknya kegelapan yang menyelubunginya menyimpan bahaya kejahatan yang lebih besar. Saat saya berkeliling di waktu malam, tingkat keamanan lebih rendah daripada di siang hari, kemungkinan saya mengalami kecelakaan atau menjadi korban kejahatan atau tersesat juga lebih tinggi. Saat saya menonton film yang gelap, kemungkinan saya menjadi depresi juga lebih tinggi. Dan saat saya berada di resto yang gelap, kemungkinan saya mengalami kecelakaan (tertusuk garpu atau pisau, atau terantuk kaki meja atau terjatuh) atau menjadi korban kejahatan (seperti yang dilukiskan dalam salah satu episode CSI New York) juga lebih tinggi.

Terang yang ada di tengah gelap memang indah, tetapi by nature gelap adalah tempat munculnya segala sisi buruk manusia.


Ket :
[1] Khotbah Natal GRII di WTC oleh Pdt. Sutjipto Subeno

Sabtu, 03 Januari 2009

Value

Alkisah tahun 2009 ini adalah tahun yang suram. Resesi melanda semua negara, termasuk Indonesia walau belum kentara di awal tahun ini. Karena resesi itu daya beli masyarakat akan semakin turun. Dengan adanya resesi ini, kemungkinan semua manusia mau tak mau terpaksa harus mengencangkan ikat pinggang.

Terpikir, bagaimana nasib produk2 yang selama ini menjual diri jauh di atas nilai intrinsiknya. Apakah mereka yang akan mengalami imbas paling hebat ? Akankah manusia yang biasanya rela membayar lebih (jauhhhh lebihnya) untuk membeli image, tiba-tiba tangannya terikat dan harus mengganti pilihannya dengan produk yang harganya sesuai dengan valuenya ?

Kalau melihat betapa nilai sebuah benda, sebuah karya seni, atau sebuah jasa, belakangan ini dikacaukan dengan begitu kacaunya, yang bernilai tinggi dihargai rendah, yang bernilai rendah dihargai tinggi, maka entahlah, apakah resesi ekonomi ini menjadi sebuah kutuk atau sebenarnya suatu berkah ?