Senin, 30 Maret 2009

Membuat film "Situ Gintung"

Membaca pemberitaan tentang turis dadakan di Situ Gintung, saya jadi teringat film WTC yang dibintangi oleh Nicholas Cage. Di film itu, tampak bagaimana sebuah tragedi memunculkan kembali sifat kemanusiaan dan perasaan persatuan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Film itu menyedihkan di satu sisi, membanggakan di sisi yang lain, khususnya bagi warga USA. Film itu memiliki pesan moral yang jelas tentang pengorbanan dan jiwa kemanusiaan.

Stop, stop, stop. Itu kan cuma film fiksi alias tidak nyata. Oke, bagaimana dengan film 911 yang nyata-nyata sebuah film dokumenter hasil besutan seseorang yang secara tidak sengaja merekam. Mula-mula orang ini bertugas merekam video tentang para pemadam kebakaran, dan di tengah-tengah acara tiba-tiba ia terlibat dalam bencana dan ikut berlari-lari dengan kamera tetap menyala. Film ini menunjukkan bagaimana warga sekitar, para relawan, para pemadam kebakaran bahu-membahu tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri berusaha mengeluarkan dan menyelamatkan korban di lantai atas. (Apa yang diliput di film ini cocok dengan cerita seorang rekan yang pada saat kejadian sedang ada di US.)

Nah, kira-kira beberapa tahun lagi, mungkin ada film tentang tragedi Situ Gintung. Jika kita berandai-andai, kira-kira fragmen apa yang akan ditampilkan di film ini ya? Bagaimana banyak orang yang mendaftar sebagai relawan, setelah mendapat seragam dan hak masuk ke bagian dalam ternyata hanya melihat-lihat dan memilih objek yang ok untuk dijepret atau direkam dalam video? Bagaimana sekelompok anggota SAR sedang meregang-regang bersusahpayah melakukan evakuasi sambil dikelilingi sekelompok besar "turis" yang membawa anak-anak balitanya sambil memotret dengan hp sambil menyeruput minuman segar dingin? Apakah film ini akan menyedihkan di satu sisi, dan lucu di sisi yang lain? Apakah kita akan membuat genre tragedy comedy?

Mengapa reaksi atas kedua tragedi ini berbeda ya? Semoga bukan karena kedua tragedi ini terjadi atas bangsa yang berbeda.

Minggu, 29 Maret 2009

Define: narcism

Quote dari http://wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn?s=narcism :
narcism, self-love: an exceptional interest in and admiration for yourself; "self-love that shut out everyone else"

Well, definisi yang pas dan nyambung. Perhatikan terutama di bagian "shut out everyone else...", well, that explain...

2 hari terakhir ini ada lebih dari 1 rekan yang mengomel tentang kelanjutan tragedi Situ Gintung. Bagaimana orang-orang banyak yang datang untuk mengambil gambar dan video tanpa berupaya menolong dan memberikan bantuan apa pun. Saat mendengar ini, saya merasa kok merasa dejavu yah ? Rasanya pernah omelan ini terlontarkan juga entah oleh siapa, kapan dan dalam peristiwa apa ? Ah, tentu saja, cetusan itu terlontar saat melihat foto-foto baksos mengunjungi korban tsunami jogja. Tampak para peserta baksos dengan ekspresi muka bangga dan sumringah berfoto di atas puing2 reruntuhan, gayanya mirip seperti jika kita pergi ke mesir dan berfoto di depan patung sphinx.

Sebenarnya ada apa dengan society kita ini ? Sudah lama tersebutkan bahwa jaman ini adalah jaman narsis, itulah sebabnya kamera digital laku berat, bahkan yang jenis SLR jauuuhhh lebih laku dari model pocket. Pada jaman ini istilah mengekspresikan diri lebih sering terdengar. Istilah mengekspresikan diri tampaknya diartikan lebih jauh bukan hanya berekspresi secara diam-diam, bukan hanya talk, tetapi lebih mengarah ke shout, ekspresi itu harus dilihat oleh sebanyak mungkin orang. Maka aplikasi jenis flickr, blogger, twitter, termasuk juga facebook, jadi laris manis (secara tidak langsung penulis mengakui kenarsisannya). Untuk mencapai tujuan dilihat oleh banyak orang ini, orang-orang rela berkorban harta, pikiran, tenaga, bahkan mungkin keluarga ?

Selama ini saya tidak merasa narsisme ini sesuatu yang mengganggu. Mencibir, mungkin kadang-kadang, tetapi tidak pernah merasa gemas, sampai hari ini. Mungkin karena dulu saya tidak menyadari arti kata narsis yang sesungguhnya. Baru hari ini saya menemukan kembali bahwa narsis ini bukan cuma meninggikan dan mempamerkan diri, tetapi juga shut out everyone else. Semua orang lain tidak terlalu penting karena admirasi berlebihan pada diri sendiri. Betapa mengerikan dan suram bukan masa depan semangat kemanusiaan? Dan lucunya tidak banyak orang narsis yang menyadari kenarsisannya, bukankah hal ini lebih berbahaya ?

Saya kembali mengingat sebuah percakapan tentang memberi sedekah di lampu merah. Apakah memberi sedekah sebenarnya juga suatu bentuk narsisme ? Ah bukan dong, dengan memberi sedekah saya kan tidak memamerkan apa pun, lagipula saya sudah membantu orang lain. Tolong tanya pak, apakah anda tidak merasa diri anda baik hati saat memberikan sedekah ? Dan permisi tanya pak, bantuan senilai berapakah yang anda berikan saat memberi sedekah ? Cukup untuk membuka usaha sehingga ia tidak perlu meminta-minta lagi ? Cukup untuk bertahan beberapa bulan sehingga ia dapat memakai waktunya untuk mencari pekerjaan ? Oh atau cukup untuk 1 minggu saja, siapa tahu dalam seminggu ia dapat memperoleh pekerjaan ? Oh atau untuk 1 hari ? Loh, masih tidak cukup ? Cukup untuk 1 kali makan sekeluarga ? Tidak cukup ? Oh, mungkin hanya cukup untuk 1 kali makan untuk 1 orang ? Tidak juga ? Berapa sih ? 1000 perak ? Oh, ok, dan dengan 1000 perak itu anda mengumbar semangat narsisme anda dengan membeli perasaan bahwa "aku orang baik".