Minggu, 15 November 2009

Daftar restoran/kafe yang ramah terhadap non perokok

Menanggapi usul dari beberapa rekan, akhirnya saya buat juga daftar restoran-restoran bebas asap rokok. Rumah makan yang saya harap tercantum di daftar ini nantinya adalah rumah makan yang secara kebijakan memang melarang adanya perokok, jadi bukan hanya kebetulan tidak ada perokok saat kita berkunjung ke sana. Menilik pengalaman tidak enak terakhir saya, bahkan tanda no smoking pun bukan jaminan resto tersebut akan melarang perokok.

Karena masih baru, sementara isi daftar ini baru sedikit. Semoga rekan-rekan yang lain dapat menambahkan isi daftar ini sehingga kalau kita bingung mau makan di mana, kita tinggal mencari inspirasi dari daftar ini :D sebagai wujud penghargaan kita terhadap kebijakan rumah makan tersebut.

Daftar rumah makan anti rokok saat ini adalah :

1. The Duck King
Saya cukup terkesan bahwa resto ini masuk daftar rumah makan anti rokok, mengingat sebelum diberlakukannya perda, saya membuang nama resto ini dari rekomendasi saya karena saat saya mengalami saat-saat yang menyesakkan di sana, manajer resto menyatakan bahwa kebijakan restonya adalah semua area = smoking area.
Tetapi saat saya mencoba berkunjung ke sana pasca perda anti rokok, saya menanyakan kepada pelayannya apakah ada area merokok, dan dia menjawab, maaf bu, kebijakan resto kami semua area adalah no smoking area. Plok plok plok, dan saya dengan hati ringan masuk ke resto ini untuk menikmati santapan lezat walau harus merogoh kocek cukup dalam...

2. Pizza Hut (di Galaxy Mall, masukan dari Njoto Benarkah)
Konon di resto ini tdk ada tempat utk perokok, semua area = no smoking area... Jempol untuk pizza hut yang konsisten, sejak sebelum perda diberlakukan, saya sudah respect karena resto ini sangat ramah dalam memperlakukan non perokok. Dia akan dengan tegas memindah perokok ke area merokok, dan tidak seperti resto lain yang menempatkan perokok di area terbaik dan non perokok di area terjepit di dalam, sebaliknya pizza hut dulu menempatkan non perokok di area terbaik dari restonya dan meletakkan perokok di bagian paling dalam yang jauh dari posisi non perokok, sehingga asapnya benar-benar tidak menjangkau kita. Salut untuk Pizza Hut.

3. XO dan XO Suki (at least di TP)
Semua area dinyatakan sebagai no smoking area.

4. Ayam Panggang dan Ice Juice Kedungsari

Nah, pengalaman di resto yang positif melarang perokok baru ini saja, tetapi saya memiliki perkiraan bahwa seluruh resto di TP juga memberlakukan larangan ini.

Apakah ada yang dapat mengkonfirmasi atau memberi tambahan ?

Daftar restoran/kafe yang kurang ramah terhadap non perokok seperti saya

Selama ini sebelum Perda Anti Rokok ditetapkan, saya di dalam hati sudah menyusun daftar resto yang bagi saya tidak menunjang kenyamanan saya menikmati makanan yang sudah saya bayar. Tetapi biasanya daftar ini berisi resto-resto yang tidak memiliki no-smoking area, alias semua area boleh dipake ngebul-ngebul.

Tetapi belakangan ini daftar tersebut berubah seiring dengan diberlakukannya perda anti rokok. Semua resto dan tempat makan yang ada di mall yang ok secara otomatis tidak mengijinkan adanya perokok lagi. Dan akhirnya saya bisa menikmati hawa segar sambil melahap makanan yang sedap. Walau demikian, ada juga beberapa resto yang ternyata tetap mengijinkan para perokok ini merajalela dengan dalih mereka sudah (terlanjur) membeli fan untuk menyedot asap rokok. Masalahnya fan ini letaknya di atas, sehingga sebelum asap ini sampai ke atas, ternyata si asap ingin jalan2 dulu belok ke meja sebelah.

Setelah beberapa kali mengalami ketidakenakan walau katanya perda anti rokok sudah diberlakukan sejak tahun lalu, akhirnya saya berpikir bahwa selama ini para perokok pasif sesuai dengan namanya sudah terlalu pasif untuk bereaksi memperjuangkan haknya. Karena kita selama ini diam, maka para perokok dengan maju tak gentar terus maju menggempur dan menyerbu seluruh area pertahanan kita. Untuk itulah saya bertekad untuk membuat daftar ini berdasarkan pengalaman saya dan mengajak para non perokok lainnya untuk tidak diam dan pasrah saja. Kita tidak akan mati kok kalau tidak makan di resto-resto ini. Biarlah mereka memilih, mereka ingin melayani perokok atau non perokok, tetapi tidak keduanya...

Daftar ini akan saya update setiap ada pengalaman baru. Untuk sementara ini, maka daftar yang telah tersusun adalah seperti berikut ini:

1. Papa Ron's Pizza
Mereka menyediakan smoking area, tetapi tidak dilengkapi sekat, dan semua sofa yang tersedia hanya untuk smoking area. Jadi non smoker, kalian jangan lama-lama akan di sana, dan jangan bersantai-santai di sofa juga. Entah apa filosofi di balik ini, padahal non smoker jelas bisa makan lebih banyak karena teorinya merokok dapat mengenyangkan.

2. Restoran Tempo Doeloe alias Ikan Bakar Cianjur
Saat di resto ini saya duduk di salah satu sudut. Pelayan tidak pernah memberi peringatan bahwa sudut ini adalah sudut perokok. Saya mengira resto ini bebas asap rokok karena ada papan NO SMOKING yang bertengger di salah satu dinding. Saat saya duduk di sana, ada pengunjung lain yang baru datang menempati meja di sebelah saya dan merokok. Saat saya complain ke pelayan, mereka meminta saya pindah dengan alasan ruang itu memang untuk perokok. Padahal tidak ada penyekat tertutup yang akan menghambat asap dari ruang tersebut ke ruang-ruang lain. Jadi saya memutuskan tidak makan di sana, tetapi sayangnya pesanan saya ternyata sudah dimasak sehingga tidak bisa saya batalkan. Selain saya ada rombongan lain yang juga terpaksa pindah karena terganggu asap rokok. Setelah kejadian ini saya baru ingat bahwa di cabang lain dari resto ini saya pernah malu dan sungkan karena membawa tamu asing yang alergi asap rokok (alergi dalam arti sebenarnya, dia bisa sesak napas). Akibatnya tamu saya harus berdiri menunggu di luar resto. Memalukan sekali.

3. Sebuah resto di SUTOS
Sayangnya nama resto ini tidak saya catat karena saya tidak makan di resto ini dan hanya sekedar lewat. Saat itulah saya melihat beberapa pengunjung yang duduk di luar dengan nikmat menghembuskan asap rokok sehingga saya memilih untuk mencari jalan lain yang udaranya lebih segar.

4. Pujasera Nikimura (dekat UNTAG) (Masukan dari Susanto Benny)
Pujaseranya tertutup plus full ac.. waktu makan disana ada seorang susuk2 dengan asiknya menhisap rokok dan mengepulkan asapnya dengan nikmatnya.. otomatis tuh asap terbang dengan "indah"-nya kemana-mana... para waiter disana hanya cuek dan pura-pura tidak tau.. padahal ada beberapa tamu yang sangat menderita mencium asap rokok >.< (especially me)

5. Dunkin donuts RMI (dari surat pembaca kompas
http://www.kompas.com/suratpembaca/read/11211 )

6. Resto Kebun Palm di CITO (Masukan dari Syanne Helly)

7. BonCafe Manyar (Masukan dari Syanne Helly)

8. Java Mocha Cafe di TP2...
Hmmm, ternyata di TP ada jg resto/cafe yang bebas merokok... Cafe ini terletak di TP yang notabene melarang perokok selain di ruangan khusus perokok. Dan dengan nekatnya pelayan-pelayan di sini mengijinkan asap kebal-kebul para perokok yg duduk di depan sehingga saat saya berjalan keluar dari ATM BCA yang terletak di seberangnya otomatis saya mencium bau asap rokok.

Apakah ada yang ingin menambahkan ?

Sabtu, 14 November 2009

Merokok dan Kentut

Apakah bedanya merokok dan kentut ?
Jelas beda, setidaknya kentut adalah suatu hal yang alami dan tidak terelakkan selama manusia atau binatang itu masih hidup, sedangkan merokok adalah aktivitas tambahan yang dapat dilakukan atau tidak tergantung pilihan.

Nah, jika memang berbeda mengapa judul artikel ini mengaitkan kedua hal itu ? Karena selain perbedaan, ada sedikit persamaan juga antara kentut dan merokok ini. Salah satunya adalah orang yang merokok dan kentut biasanya merasakan suatu kelegaan, sedangkan orang-orang yang ada di sekitarnya di lain pihak justru merasakan kesesakan karena harus menahan napas. Kedua hal ini juga termasuk aktivitas yang menimbulkan "polusi udara"...

Yang saya herankan, aktivitas merokok dan kentut ini walau sama-sama menyebalkan orang lain, tetapi seolah mendapat perilaku yang berbeda. Seseorang yang ketahuan kentut di depan umum biasanya merasa sangat malu, mereka cenderung menutup-nutupi aktivitas ini dengan berbagai cara. Bahkan secara etis, kita merasa kalau ingin kentut jangan di depan umum, pergilah ke toilet atau tempat terbuka di mana tidak ada satu makhluk pun yang akan terganggu oleh siraman gas anda.

Sedangkan seorang perokok dengan bangga melakukan aktivitas ini di depan umum tanpa rasa malu, jangankan malu, bahkan jika ditegur pun, ia akan melotot kepada pihak yang menegurnya dan bahkan dengan sinis tetap meneruskan aktivitasnya. Seperti yang dialami seorang ibu yang naik angkot, saat seorang bapak naik ke angkot sambil membawa rokok si ibu meminta bapak tersebut mematikan rokoknya. Dan jawaban si bapak adalah, kalau tidak mau kena asap rokok, naik taxi saja.

Padahal merokok ini aktivitas yang benar-benar merampas hak hidup dan hak atas udara bersih yang dimiliki oleh manusia lain. Merokok ini lebih merugikan dibandingkan kentut, setidaknya kentut tidak mengancam jiwa manusia lain bukan ? Sedangkan perokok pasif jelas lebih kecil kans hidupnya.

Maka bagi saya merokok bukan cuma sekedar aktivitas seperti makan tahu campur. Merokok bagi saya menunjukkan kekerdilan jiwa seseorang. Seorang perokok yang tidak mampu mengendalikan nafsunya tanpa memandang kepentingan orang lain jelas juga sulit dianggap sebagai manusia yang bertanggung jawab. Bagaimana saya dapat mempercayai orang tersebut, kalau untuk mengendalikan nafsunya saja ia tidak mampu, untuk nafsu tersebut ia dapat dengan mudah mengabaikan hak hidup orang lain. (Sempat ada wacana dari beberapa rekan, agar para perokok ini dapat meneruskan hobinya tanpa membunuh orang lain, sebaiknya mereka memakai helm atau kantong agar asap rokok mereka tidak keluar dan masuk ke paru-paru orang lain)

Kesimpulan : Jika saat ini anda adalah perokok dan anda merasa anda bukan orang yang tidak bertanggung jawab dan seenaknya sendiri, saatnya anda tunjukkan hal itu sekarang... Jika anda masih cuek, maka perilaku anda itu adalah semacam pembenaran bagi kesimpulan yang sudah saya ambil.

Kamis, 21 Mei 2009

After 30 (judul alternatif : Dokter cilik, dai cilik, penyiar cilik, insinyur cilik dan segala yang cilik-cilik...)

Saat membaca pemberitaan di surat kabar, dan dari hasil menguping pembicaraan ibu-ibu baik di angkot, maupun saat lagi mampir ke sekolah-sekolah, saya mengamati ada sebuah fenomena yang belakangan ini menjadi ukuran keberhasilan. Hal itu adalah pencapaian pada usia yang belum waktunya.

Seseorang saat ini dihargai tidak cukup dari apa yang berhasil dicapainya, tetapi juga dari kapan ia berhasil mencapainya. Jadi jika pakde saya adalah direktur sebuah perusahaan, pernyataan itu tidak terlalu menarik minat, toh jaman sekarang direktur sudah banyak di mana-mana, tetapi jika saya menyatakan keponakan saya yang masih 12 tahun sudah menjadi direktur, nah, baru kepala-kepala itu akan menoleh. Prestasi jadi terasa belum begitu jreeeenng kalau tidak dibarengi dengan masa pencapaian yang lebih cepat dari kewajaran.

Yah, semua pasti setuju bahwa waktu itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin karena waktu tidak dapat berulang. Semua pasti mengamini kalau kita bisa mencapainya dengan cepat, mengapa harus diperlambat ? Saya juga amat setuju dengan hal itu. Tetapi apakah fenomena yang ada saat ini bersesuaian dengan falsafah waktu tadi ?

Kelas Percepatan

Coba kita lihat, berapa banyak kelas percepatan yang disediakan. Betapa para ibu dan bapak yang terhormat membanggakan betapa anak-anak mereka masuk kelas percepatan.

Dahulu tidak ada kelas percepatan, tetapi terkadang ada satu atau dua anak jenius yang dapat lompat kelas, jadi mereka dapat menyelesaikan sekolah lebih cepat dari seharusnya. Pada jaman kuliah, mahasiswa-mahasiswa canggih juga dapat selesai lebih cepat dengan mengambil mata kuliah yang lebih banyak dari rekan-rekan lainnya tiap semester.

Jadi bedanya apa dengan kelas percepatan ini ? Bedanya adalah jumlah siswa lompat kelas sangat sedikit dan mahasiswa yang lulus lebih cepat juga sangat sedikit, sedangkan siswa kelas percepatan walaupun masih minoritas tetapi jumlahnya terbilang lumayan. Apakah lebih banyak siswa pintar ? Ternyata di koran saya membaca ada ibu yang membanggakan anaknya yang ikut kelas percepatan dengan menyatakan bahwa anak ini belajar 11 jam sehari di luar jam sekolah. Wow ! Anak ini juga masih diperlengkapi dengan kursus-kursus.

Jika anak ini memang benar pintar, apakah ia membutuhkan berbagai kursus ? Apakah ia perlu menghabiskan seluruh waktunya dalam sehari untuk belajar ? Jadi sebenarnya anak ini didorong di luar batas kemampuannya bukan ? Anak ini sebenarnya tumbuh normal, tetapi ia dipaksa untuk lebih cepat dan cepat dan cepat. Ini tidak normal.


Pembabadan kurikulum

Kurikulum juga menjadi korban falsafah cepat, cepat dan cepat saat ini. Sudah berapa banyak kurikulum di universitas yang dipangkas habis supaya mahasiswanya dapat lulus dengan cepat. Jika dulu mahasiswa brilian dapat lulus dengan cepat, maka sekarang mahasiswa ogah-ogahan pun dapat lulus lumayan cepat karena kalau dulu mahasiswa yang lulus cepat karena ia mampu menyesuaikan kemampuan otaknya dengan beban kuliah, sekarang beban kuliah harus disesuaikan dengan kemampuan otak rata-rata. Bagi saya ini juga tidak normal.

Kesimpulan

Seperti saya nyatakan sebelumnya, menjadi dokter, pendeta, dai, penyiar, insinyur dan sebagainya itu biasa, yang luar biasa adalah kalau mereka masih sangat muda. Tanpa menyebut nama saya membaca ada seorang pendeta yang membanggakan bahwa ia telah mencapai gelar rohaniwan itu di usia yang boleh dibilang masih sangat muda sehingga sebelum usia 30 tahun ia telah mencapai berbagai macam hal.

Sebenarnya falsafah tentang waktu tadi apakah berarti maka lakukan sesuatu sebelum waktunya agar tidak membuang-buang waktu ? Atau artinya adalah lakukan sesuatu tepat pada saatnya, jangan ditunda ? Jika Yesus yang pada usia 12 tahun dengan hebat dapat berdebat dengan ahli-ahli agama terhebat pada jamannya, mengapa Ia baru mulai aktif bekerja pada usia 30 tahun ? Apakah berarti Yesus membuang 18 tahun usianya untuk kesia-siaan ? Ataukah sebenarnya Ia menunggu pada saat yang tepat. Kata kuncinya adalah pada kata TEPAT. Tepat pada waktunya adalah waktu yang terbaik, tidak dibuat lebih lambat, tetapi juga tidak dibuat lebih cepat. Maka Yesus tidak bersalah, tidak membuang waktu, tetapi Ia memanfaatkan waktunya dengan baik. Jika kita memakai segala cara yang tidak tepat untuk mempercepat proses dengan tujuan yang tidak jelas, maka sebenarnya kita sudah membuang waktu kita untuk hal yang tidak tepat. Semoga hal ini dijauhkan dari dunia pendidikan.

Senin, 30 Maret 2009

Membuat film "Situ Gintung"

Membaca pemberitaan tentang turis dadakan di Situ Gintung, saya jadi teringat film WTC yang dibintangi oleh Nicholas Cage. Di film itu, tampak bagaimana sebuah tragedi memunculkan kembali sifat kemanusiaan dan perasaan persatuan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Film itu menyedihkan di satu sisi, membanggakan di sisi yang lain, khususnya bagi warga USA. Film itu memiliki pesan moral yang jelas tentang pengorbanan dan jiwa kemanusiaan.

Stop, stop, stop. Itu kan cuma film fiksi alias tidak nyata. Oke, bagaimana dengan film 911 yang nyata-nyata sebuah film dokumenter hasil besutan seseorang yang secara tidak sengaja merekam. Mula-mula orang ini bertugas merekam video tentang para pemadam kebakaran, dan di tengah-tengah acara tiba-tiba ia terlibat dalam bencana dan ikut berlari-lari dengan kamera tetap menyala. Film ini menunjukkan bagaimana warga sekitar, para relawan, para pemadam kebakaran bahu-membahu tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri berusaha mengeluarkan dan menyelamatkan korban di lantai atas. (Apa yang diliput di film ini cocok dengan cerita seorang rekan yang pada saat kejadian sedang ada di US.)

Nah, kira-kira beberapa tahun lagi, mungkin ada film tentang tragedi Situ Gintung. Jika kita berandai-andai, kira-kira fragmen apa yang akan ditampilkan di film ini ya? Bagaimana banyak orang yang mendaftar sebagai relawan, setelah mendapat seragam dan hak masuk ke bagian dalam ternyata hanya melihat-lihat dan memilih objek yang ok untuk dijepret atau direkam dalam video? Bagaimana sekelompok anggota SAR sedang meregang-regang bersusahpayah melakukan evakuasi sambil dikelilingi sekelompok besar "turis" yang membawa anak-anak balitanya sambil memotret dengan hp sambil menyeruput minuman segar dingin? Apakah film ini akan menyedihkan di satu sisi, dan lucu di sisi yang lain? Apakah kita akan membuat genre tragedy comedy?

Mengapa reaksi atas kedua tragedi ini berbeda ya? Semoga bukan karena kedua tragedi ini terjadi atas bangsa yang berbeda.

Minggu, 29 Maret 2009

Define: narcism

Quote dari http://wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn?s=narcism :
narcism, self-love: an exceptional interest in and admiration for yourself; "self-love that shut out everyone else"

Well, definisi yang pas dan nyambung. Perhatikan terutama di bagian "shut out everyone else...", well, that explain...

2 hari terakhir ini ada lebih dari 1 rekan yang mengomel tentang kelanjutan tragedi Situ Gintung. Bagaimana orang-orang banyak yang datang untuk mengambil gambar dan video tanpa berupaya menolong dan memberikan bantuan apa pun. Saat mendengar ini, saya merasa kok merasa dejavu yah ? Rasanya pernah omelan ini terlontarkan juga entah oleh siapa, kapan dan dalam peristiwa apa ? Ah, tentu saja, cetusan itu terlontar saat melihat foto-foto baksos mengunjungi korban tsunami jogja. Tampak para peserta baksos dengan ekspresi muka bangga dan sumringah berfoto di atas puing2 reruntuhan, gayanya mirip seperti jika kita pergi ke mesir dan berfoto di depan patung sphinx.

Sebenarnya ada apa dengan society kita ini ? Sudah lama tersebutkan bahwa jaman ini adalah jaman narsis, itulah sebabnya kamera digital laku berat, bahkan yang jenis SLR jauuuhhh lebih laku dari model pocket. Pada jaman ini istilah mengekspresikan diri lebih sering terdengar. Istilah mengekspresikan diri tampaknya diartikan lebih jauh bukan hanya berekspresi secara diam-diam, bukan hanya talk, tetapi lebih mengarah ke shout, ekspresi itu harus dilihat oleh sebanyak mungkin orang. Maka aplikasi jenis flickr, blogger, twitter, termasuk juga facebook, jadi laris manis (secara tidak langsung penulis mengakui kenarsisannya). Untuk mencapai tujuan dilihat oleh banyak orang ini, orang-orang rela berkorban harta, pikiran, tenaga, bahkan mungkin keluarga ?

Selama ini saya tidak merasa narsisme ini sesuatu yang mengganggu. Mencibir, mungkin kadang-kadang, tetapi tidak pernah merasa gemas, sampai hari ini. Mungkin karena dulu saya tidak menyadari arti kata narsis yang sesungguhnya. Baru hari ini saya menemukan kembali bahwa narsis ini bukan cuma meninggikan dan mempamerkan diri, tetapi juga shut out everyone else. Semua orang lain tidak terlalu penting karena admirasi berlebihan pada diri sendiri. Betapa mengerikan dan suram bukan masa depan semangat kemanusiaan? Dan lucunya tidak banyak orang narsis yang menyadari kenarsisannya, bukankah hal ini lebih berbahaya ?

Saya kembali mengingat sebuah percakapan tentang memberi sedekah di lampu merah. Apakah memberi sedekah sebenarnya juga suatu bentuk narsisme ? Ah bukan dong, dengan memberi sedekah saya kan tidak memamerkan apa pun, lagipula saya sudah membantu orang lain. Tolong tanya pak, apakah anda tidak merasa diri anda baik hati saat memberikan sedekah ? Dan permisi tanya pak, bantuan senilai berapakah yang anda berikan saat memberi sedekah ? Cukup untuk membuka usaha sehingga ia tidak perlu meminta-minta lagi ? Cukup untuk bertahan beberapa bulan sehingga ia dapat memakai waktunya untuk mencari pekerjaan ? Oh atau cukup untuk 1 minggu saja, siapa tahu dalam seminggu ia dapat memperoleh pekerjaan ? Oh atau untuk 1 hari ? Loh, masih tidak cukup ? Cukup untuk 1 kali makan sekeluarga ? Tidak cukup ? Oh, mungkin hanya cukup untuk 1 kali makan untuk 1 orang ? Tidak juga ? Berapa sih ? 1000 perak ? Oh, ok, dan dengan 1000 perak itu anda mengumbar semangat narsisme anda dengan membeli perasaan bahwa "aku orang baik".

Minggu, 04 Januari 2009

Gelap itu indah ?

Suatu kali saya mendengar seorang pendeta [1] menyatakan bahwa manusia semakin lama semakin menyukai kegelapan. Benarkah ? Ya, benar. Siapa yang bisa menyangkal bahwa suasana malam hari sering tampak sangat indah. Siapa yang bisa menyangkal keindahan pemandangan saat sunset. Dan saya sendiri sangat senang dan menikmati jika ada yang membuat saya harus berputar-putar kota pada malam hari, saya sangat menyukai pemandangan dan suasana kota saat malam hari.

Selain itu banyak film atau cerita yang indah adalah film atau cerita yang bertema gelap. Film atau cerita itu indah karena kegelapannya. Jika film atau cerita itu tidak dibuat gelap mungkin hasilnya tidak seindah itu. Mungkin hasilnya hanya lumayan saja (seperti hasil karya seorang penulis di film Stranger Than Fiction yang akhirnya mendapat komentar hanya “lumayan” saat dia mengubah endingnya yang biasanya gelap dan tragis menjadi penuh harapan).

Yang terakhir, suatu ketika saya mendengar ada sebuah resto yang dibuat khusus dengan suasana yang gelap-lap. Filosofinya adalah bahwa jika sebuah indra dimatikan, indra lain akan menjadi lebih peka, jadi jika penglihatan dihilangkan, maka indra perasa dan pengecap akan lebih peka, sehingga rasa makanan akan jauh lebih lezat, teorinya begitu. Padahal kepekaan indra seorang buta apakah bisa diperoleh dalam waktu sejam saja ya ? Bukannya dia menjadi peka setelah beberapa lama menjadi orang buta ? Yah, ini teori saya yang tidak percaya dengan teori kepekaan pengecap yang tercipta dalam beberapa menit itu. Toh indra pengecap kita terbukti mudah ditipu dalam gelap, seorang mahasiswa dalam masa orientasi dengan mata ditutup akan merasa jijik dan muak saat ia makan mie jika ia ditipu bahwa yang ia makan adalah cacing, jadi peka apanya ? Tampaknya indra perasa amat dipengaruhi oleh indra penglihatan dan penciuman, itulah sebabnya makanan selain lezat sebaiknya juga tampak menggiurkan dan baunya sedap pula. Walau demikian, trend restoran gelap ini tampaknya juga mendukung teori bahwa manusia sekarang semakin cinta gelap.

Tetapi jika kita memperhatikan lebih jauh, sebenarnya keindahan dari suatu kegelapan terletak bukan pada kegelapan itu sendiri. Saat saya berkeliling kota di waktu malam, yang membuat kota tampak indah adalah temaram lampu jalanan. Kerlingan lampu-lampu yang cahayanya berkelap-kelip dapat membuat malam hari tampak menakjubkan. Jika semua lampu itu dimatikan, tetapi masih ada bulan yang bercahaya redup, mungkin keindahan alam masih tampak, tetapi jika bahkan bulan pun tiada, maka malam hari tidak akan indah lagi. Sebuah film atau cerita yang gelap akan tampak indah dan menarik untuk dikenang jika realitas hidup yang kita jalani sekarang tidak segelap itu. Jika hidup kita dulu segelap cerita itu, tetapi sekarang kita sudah mengalami terang maka kita masih bisa menikmati cerita itu. Jika hidup kita sekarang pun masih gelap, tetapi film tersebut berakhir dengan terang, maka kita memiliki harapan bahwa hidup kita pun akan menjadi terang. Tetapi jika hidup kita gelap, dan cerita tersebut jika berakhir dengan gelap, akankah kita masih menikmati cerita tersebut yang bukannya membawa harapan tetapi menyodorkan keputusasaan? Restoran yang menawarkan kegelapan sebenarnya bukan menawarkan kegelapan tetapi menawarkan terang yang lebih dari indra perasa (setidaknya secara konsep).

Jadi mungkin sebenarnya tanpa disadari manusia menyukai kegelapan karena dalam kegelapan itu terang yang sekecil apa pun, jadi tampak lebih nyata. Saat manusia menyukai “gelap” di satu sisi, di lain sisi sebenarnya dia walau tak mau mengakui, memuja “terang”. Yang tidak disadari oleh manusia, sebenarnya saat dirinya terbius dengan keindahan terang di dalam kegelapan itu, ia melupakan fakta bahwa banyaknya kegelapan yang menyelubunginya menyimpan bahaya kejahatan yang lebih besar. Saat saya berkeliling di waktu malam, tingkat keamanan lebih rendah daripada di siang hari, kemungkinan saya mengalami kecelakaan atau menjadi korban kejahatan atau tersesat juga lebih tinggi. Saat saya menonton film yang gelap, kemungkinan saya menjadi depresi juga lebih tinggi. Dan saat saya berada di resto yang gelap, kemungkinan saya mengalami kecelakaan (tertusuk garpu atau pisau, atau terantuk kaki meja atau terjatuh) atau menjadi korban kejahatan (seperti yang dilukiskan dalam salah satu episode CSI New York) juga lebih tinggi.

Terang yang ada di tengah gelap memang indah, tetapi by nature gelap adalah tempat munculnya segala sisi buruk manusia.


Ket :
[1] Khotbah Natal GRII di WTC oleh Pdt. Sutjipto Subeno

Sabtu, 03 Januari 2009

Value

Alkisah tahun 2009 ini adalah tahun yang suram. Resesi melanda semua negara, termasuk Indonesia walau belum kentara di awal tahun ini. Karena resesi itu daya beli masyarakat akan semakin turun. Dengan adanya resesi ini, kemungkinan semua manusia mau tak mau terpaksa harus mengencangkan ikat pinggang.

Terpikir, bagaimana nasib produk2 yang selama ini menjual diri jauh di atas nilai intrinsiknya. Apakah mereka yang akan mengalami imbas paling hebat ? Akankah manusia yang biasanya rela membayar lebih (jauhhhh lebihnya) untuk membeli image, tiba-tiba tangannya terikat dan harus mengganti pilihannya dengan produk yang harganya sesuai dengan valuenya ?

Kalau melihat betapa nilai sebuah benda, sebuah karya seni, atau sebuah jasa, belakangan ini dikacaukan dengan begitu kacaunya, yang bernilai tinggi dihargai rendah, yang bernilai rendah dihargai tinggi, maka entahlah, apakah resesi ekonomi ini menjadi sebuah kutuk atau sebenarnya suatu berkah ?