Senin, 01 Desember 2008

Baik vs Benar

Cobalah melihat sekeliling anda, pasangan anda, teman dan sahabat anda, tetangga anda, bahkan pimpinan anda, juga berbagai reality show kesayangan anda di TV, tentunya hati kita akan merasa hangat dan tentram menyadari ada begitu banyak orang baik mengelilingi kita. Kemudian cobalah memandang sekeliling anda lagi, lihatlah orang-orang yang mengitari anda, apakah mereka-mereka itu adalah orang-orang yang benar ?

Apakah kebaikan memiliki hubungan yang dekat dengan kebenaran ? Kelihatannya iya. Banyak orang meyakini iya. Biasanya yang baik itu pasti benar bukan ? Hmm.... atau tidak ?

Ternyata kedekatan hubungan antara baik dan benar hanyalah mitos yang diciptakan manusia sendiri. Manusia yang sulit ( baca : tidak suka ) mencapai standard kebenaran berusaha menciptakan kompromi dalam bentuk pendekatan lain yang diharapkan dapat memperoleh kesan indah yang sama. Seberapa sering kita menilai berdasarkan standard kebaikan bukan kebenaran ? ” Saya menyukainya, ia teman yang baik.” ” Ia adalah tetangga yang baik” ”Bos saya baik sekali” ”Sahabatku ini teman terbaik yang pernah ada”.

Bagaimana jika kita mengganti standard kebaikan yang merupakan ujian yang kita ajukan untuk menilai pasangan, teman, perusahaan, bahkan acara TV kesayangan kita menjadi ujian berbasis kebenaran. Apakah hasil lolos ujian atas semua ujian sebelumnya akan tetap sama ?

Kebaikan adalah merupakan comfort zone yang diciptakan seorang manusia. Karena kebaikan tidak perlu dicapai sepenuhnya. Manusia hanya perlu melakukan sebuah kebaikan kecil untuk mendapatkan penghargaan dan pemakluman dari manusia lainnya. Kebaikan ini lebih mudah dijual di media massa, bahkan jika anda melihat semua reality show saat ini, konsep inilah yang ditawarkan dengan gencar. Kebaikan ini juga dapat memancing air mata dan rasa trenyuh. Manusia akan mudah memberikan excuse kepada orang yang memiliki sedikit kebaikan. Bahkan konsep inilah yang sering diagung-agungkan, bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya jahat. Setidaknya pasti ada sedikit kebaikan dalam diri bahkan para teroris sekalipun. Sisi humanisme dan kebaikan inilah yang sering dijadikan senjata pembelaan seorang penjahat besar. ”Ya memang, ia sudah merampok bank dan membunuh satpam itu, tetapi sebenarnya ia adalah pria yang baik yang mencintai keluarganya, ia ingin anak-anaknya dapat bersekolah dengan baik dan dapat hidup lebih layak, itulah sebabnya ia merampok.”

Itulah beda terbesar antara kebaikan dan kebenaran. Dengan standard kebaikan, seorang manusia sudah dapat disebut baik jika ada sepercik saja kebaikan dalam dirinya. Artinya manusia yang sepersepuluh baik boleh disebut manusia yang baik. Sedangkan dengan standard kebenaran, seorang manusia sudah dapat disebut tidak benar jika ada sepercik saja ketidakbenaran dalam dirinya. Artinya manusia yang sembilan persepuluh benar sudah keluar dari himpunan manusia benar.

Masalahnya standard yang manakah yang dipakai oleh Allah ? Dalam sebuah buku (Kantor Detektif No.1) saya membaca tentang seorang tokoh wanita yang menyatakan untuk memilih pasangan hidupnya seorang wanita yang memiliki seorang ayah yang baik hanya perlu menanyakan sebuah pertanyaan kepada dirinya sendiri : Apakah yang akan ayahku pikirkan tentang diri calonku itu ?

Seharusnya standard pemilihan itu pulalah yang dipakai oleh seorang Kristen. Kita sudah jelas memiliki ayah yang baik, seberapa sering kita berpikir apa yang Bapaku pikirkan tentang calon pendamping hidupku, teman-temanku, perusahaan dimana aku melamar, dan sebagainya ? Atau kita bersikap seperti remaja pemberontak yang tidak mengerti kecerewetan orang tuanya dan merasa si ayah terlalu mengekang hidupnya (dan meninggalkan si ayah dalam sakit hatinya).

Seringkali orang Kristen seperti seseorang dengan kepribadian ganda yang menerapkan standard ganda sepanjang hidupnya. Di kalangan gereja, hukum Allah dan Firman Tuhan diterapkan. Di luar itu, giliran apa kata dunia, apa kata teman-temanku yang fun dan cool dan berpengaruh yang menjadi standard hidup yang disembah. Betapa melelahkan hidup semacam itu. Bukan hanya melelahkan, tetapi jika Bapa di Surga adalah ayah kita, benarkah kita tidak peduli betapa Ia akan sakit hati dan khawatir melihat anaknya bergaul dengan anak-anak dari musuhNya ? ( Jangan terlalu kaget membaca kalimat keras itu. Benar vs Tidak benar identik dengan Tuhan vs musuh Tuhan bukan ? Atau apakah anda setuju bahwa ada manusia yang tidak diklaim oleh Tuhan dan bahkan tidak diklaim juga oleh pihak yang lain ? ).

Maka sekarang, just take a good look to everybody surrounding you. Apakah mereka telah memenuhi standard kebenaran ? Atau anda cukup puas dengan standard kebaikan ? Ingat, kebaikan tertinggi dan terpenuh hanya dapat dicapai jika kebaikan itu telah memenuhi kualifikasi kebenaran. “The truth and nothing but the truth”.

Tidak ada komentar: