Senin, 01 Desember 2008

Pendidikan = investasi

Judul di atas jika dibaca, banyak orang akan mafhum dan legawa. Padahal jika keberhasilan sebuah investasi selalu dikaitkan dengan keberhasilan finansial, maka sebenarnya saya tidak yakin bahwa pendidikan adalah suatu investasi. Berapa banyak konglomerat yang kaya karena ia berpendidikan ? Berapa banyak orang kaya yang dihasilkan dari dunia pendidikan ? Adakah 1 persen wisudawan akhirnya mampu jadi "orang" (baca : orang kaya)?

Belakangan ini dunia pendidikan semakin ditarik ke area bisnis. Mendirikan sekolah adalah bisnis dan investasi. Sekolah-sekolah internasional berjamuran, tampaknya dengan pertimbangan bisnis (semoga saya salah). Jaman dulu sekolah dan universitas yang baik speaks for itself, tidak perlu menyewa PR dan marketing profesional, tetapi jaman sekarang ini sekolah biasa bisa digandrungi karena kemampuan PR yang hebat dan sekolah OK bisa terpuruk karena PR yang jelek. Di satu sisi para remaja ingin berhura-hura sambil tetap memperoleh prestige sebagai orang sekolahan (mau keren tapi tidak mau capek bikin tugas). Di sisi lain para PR menawarkan konsep sekolah yang fun, yang menawarkan konsep happy dari sejak sekolah sampai lulusnya pun happy ending karena kalau lulus nanti kamu bisa jadi bos untuk dirimu sendiri, tidak kerja buat orang lain (ntar kalau dimarahin bos, ga fun dong).

Dan gong dari gejala ini adalah saat pendidikan dianggap berhasil jika banyak fulus tercurah bagi sarjana ini. Betapa lucunya, ternyata pendidikan dinilai keberhasilannya dari apa yang dia peroleh. Saat dia bersekolah dia mengambil dan mengambil tanpa pernah memberi, dan saat dia lulus pun ternyata keberhasilannya diukur dari seberapa banyak dia dapat mengambil. Tidak ada kesempatan sama sekali untuk dinilai dari apa yang diberikan keluar. Nilai altruis benar-benar tidak keren dan tidak penting. Nilai egoistis adalah nilai terpenting. Tidak heran manusia yang katanya berpendidikan pun bisa bersikap layaknya anjing yang berebut sepotong daging. Karena manusia sudah dinilai jauhhhh lebih rendah dari natur mulianya.

Sekali lagi, semoga saya salah...

you gave no effort for your salvation

Setiap tahun kita merayakan jumat agung dan paskah. Terkadang perayaan yang begitu rutin membuat kita hampir tidak merasakan greget perayaan itu lagi. Kesibukan mempersiapkan Paskah membuat emosi kita tercurah untuk persiapan itu, dan ketika tiba saatnya kita mengenang pengorbanan Kristus, emosi itu sudah habis, tidak ada rasa lagi.

Tahun ini tampaknya hal itu akan terjadi lagi. Rasa tidak ada rasa itu sangat mengganggu. Mengapa kita begitu dingin saat mengenang Dia ? Mengapa kita begitu terbiasa merayakannya sehingga seolah kita merasa bahwa semua anugrah yang kita terima memang selayaknya kita terima ?

Padahal manusia sejak lahir sudah berdosa, sudah tidak mungkin dekat-dekat Allah lagi. Mau berusaha sampai mati pun kita tidak mungkin bisa mendekati Allah. Kita cuma punya satu jalur, bukan dua, tidak ada jalur alternatif, jalur kita cuma satu, jalan tol menuju kematian. Kalau bukan Allah yang berinisiatif mendekati kita, maka tidak mungkin kita bisa menghampiri Dia.

Bukan cuma mendekati, Dia juga mengusahakan supaya kita layak didekati. Dia mau mati buat menggantikan kita. Bukan cuma mati fisik, tapi Dia menanggung murka Allah yang maha dahsyat, Dia ditinggalkan Allah Bapa di tengah kesengsaraanNya. Gara-gara kita, kesatuan Allah Tritunggal pernah diceraikan.

Memang terhukum mati tidak mungkin dapat menggantikan vonis hukuman mati dari terhukum lain. Kalau dia menanggung hukuman mati orang lain, nah, siapa dong yang menggantikan vonis hukuman mati -nya sendiri ? Demikian juga semua manusia yang sudah divonis mati tidak mungkin dapat menebus baik dirinya sendiri atau manusia lainnya. Hanya dia yang bersih yang dapat menggantikan menanggung vonis tersebut untuk manusia. Dan tidak ada satu manusiapun yang bersih kecuali Tuhan sendiri yang berinkarnasi menjadi manusia.

Pengorbanan itu murni dilakukan karena kasih. Kita kejatuhan kasih, bukan karena kita manis, baik, hebat atau unggul. Tidak ada sedikitpun usaha kita yang membuat kita layak mendapatkan kasih sebesar itu. Kita hanya disayangi dengan kasih yang dalam.

Sedih jika membayangkan kasih sedalam itu kita sambut dengan dingin. Seberapa parah hati kita sudah dibekukan oleh rutinitas ?

Love Story

Love story tidak akan pernah tidak laku dijual. Manusia selalu suka mendengar atau membaca kisah cinta. Para wanita terharu, dan para pria memasang kuping walau pura-pura tidak peduli. Tapi love story biasanya tidak diabaikan.

Tetapi ada sebuah buku yang full berisi love story, tetapi karena begitu tebalnya dan begitu panjang ceritanya sampai-sampai tidak disadari bahwa sebenarnya isi buku itu adalah love story. Ada 2 tokoh utama, yang mencintai dan yang dicintai sampai mati.

Buku itu menggambarkan perjalanan panjang cinta yang berkali-kali ditolak, berkali-kali dipermainkan, berkali-kali dikhianati, tetapi sang pencinta tetap teguh tidak mau mundur tetap mencintai. Buku itu bercerita tentang bagaimana sang pencinta mau berkorban hingga tetes darah penghabisan walaupun dia dibenci oleh pihak yang dicintai. Buku itu bercerita tentang bagaimana dia tetap sabar menunggu cinta itu bersambut. Buku itu bercerita bagaimana cinta sejati tidak memaksa tetapi berkorban. Bukan berkorban tanpa tujuan, bukan kisah cinta murahan dimana sang pencinta mati dengan sia-sia atas nama cinta saja, tetapi dia berkorban untuk satu tujuan demi kebahagiaan dan kebebasan ia yang dicintai. Buku itu melukiskan bagaimana cinta sejati tidak akan pernah habis, ia tidak menyerah, bagaimana cinta sejati bukan berarti tidak ada kemarahan, bagaimana cinta sejati tercurah dalam berbagai emosi, dan bagaimana cinta sejati setia menunggu sampai akhir walau ia tidak dicintai.

Buku itu adalah Alkitab.

Light and darkness

Kita sering mendengar idiom pertempuran terang melawan gelap. Sebenarnya pertempuran terang dan gelap bukanlah pertempuran sejati dan tidak akan pernah berlangsung adil. Karena begitu terang muncul, maka kegelapan total akan musnah.

Atau sebenarnya malah tidak pernah ada pertarungan antara terang dan gelap, karena mereka sebenarnya tidak pernah bertemu. Atau malah sebenarnya tidak ada objek yang bernama kegelapan. Karena kegelapan hanya dapat terwujud jika segala jenis terang ditiadakan. Maka optionnya hanya ada terang atau tidak ada terang. Terang sekecil apa pun jika dimunculkan maka tidak akan ada lagi gelap, karena gelap = tidak ada terang.

Fakta ini cukup menghibur sekaligus menekan kita. Jika demikian berarti tidak ada yang bernama sisi gelap dalam diri kita masing-masing. Sisi gelap hanya muncul kalau kita mengusir semua terang yang ada. Kalau kita mengijinkan sedikit saja ada terang dalam diri kita, maka kegelapan itu akan lenyap. Kita sebenarnya tahu kan di mana kita dapat menemukan terang yang sejati. Pertanyaannya, sebenarnya apakah kita sebenarnya terkadang menikmati kegelapan itu ? Sehingga kita menghalau semua terang yang ditawarkan ?

diilhami oleh khotbah Pdt. Sutjipto Subeno, GRII Andhika

Inovasi

Jiwa enterpreneur, inovatif, kreatif, berpikir out of the box..... Kata-kata semacam ini belakangan sering didengungkan. Pada jaman ini, seseorang dituntut untuk memiliki semua itu jika ingin sukses. Creating something new, different, unexpectable, unpredictable menjadi tujuan setiap orang, perusahaan, organisasi. Semua itu katanya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Pertanyaannya : kualitas hidup macam apa ? Supaya manusia bisa lebih afdol bersenang-senang ? Supaya lebih afdol bermalas-malasan ? Supaya lebih afdol memuaskan berbagai nafsu ?

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, segala macam kerusakan yang terjadi pada masa ini bukankah diakibatkan oleh penemuan atau dalil atau filsafat yang inovatif pada masa lalu ?

Jadi kira-kira, mungkinkah seabad atau dua abad dari sekarang, anak cucu kita mulai menyesalkan dan mengutuk moyangnya yang pada masanya dipuji-puji karena ke-inovatif-annya ?

Layak

Jika seseorang berbuat jahat tetapi ia dihukum atau disengsarakan, banyak orang bilang itu adalah sebuah kelayakan. Tidak ada pujian yang perlu dialamatkan kepada orang itu walau ia tabah menanggung hukumannya.

Jika seseorang berbuat baik dan ia memperoleh buahnya, orang juga bilang bahwa buah itu layak diterimanya. Ia sudah berbuat baik dan hasilnya juga baik. Kita tidak perlu menambah pujian lagi karena ia sudah mendapatkan buah yang pantas ia dapat.

Tetapi jika seseorang dengan kebaikan yang tidak terlukiskan ternyata harus menanggung sengsara yang juga tidak terlukiskan, apakah itu sebuah kelayakan ? Itu adalah sebuah ketidaklayakan... Sesuatu yang tidak sepatutnya terjadi dan tidak sepatutnya diterima dengan diam dan pasrah.

Ketidaklayakan yang ditanggung dengan diam.

Jangan memuji orang yang mau menderita

Tidak semua orang yang hidupnya menderita perlu dipuji. Terkadang penderitaan mereka terlalu dicari-cari, terkadang mereka sengaja membuat hidup mereka begitu dramatis, terkadang mereka menolak solusi yang disodorkan, semata-mata agar terus dicap sebagai peran penderita.

Tidak semua orang yang menderita tidak berbahagia. Lagipula apalah definisi menderita itu ? Apakah hidup di rumah bobrok lebih menderita daripada di mansion ? Apakah orang yang disiksa secara fisik pasti menderita ? Bagaimana dengan sadomasochist, mereka bahagia dengan siksaan fisik bukan ? Pengalaman yang bagi sebagian orang adalah penderitaan, bagi sebagian orang lain adalah sebuah kebahagiaan. Kadar menderita tiap orang berbeda.

Tetapi, jika seseorang begitu kesusahan memikirkan kejadian yang harus dihadapi, bahkan sampai berkeringat darah, serta memohon dengan sangat dalam doanya agar kejadian tersebut seandainya boleh batal terjadi, maka dapat dipastikan kejadian itu adalah penderitaan dahsyat baginya.

Itulah penderitaan yang sejati. Dan untuk orang yang mau menanggung penderitaan itu walau ia dapat menolak, untuk orang yang mau menanggungnya demi orang lain, maka untuk orang inilah pujian tidak akan salah.

Happy Ending

Belakangan ini kita sering mendengar begitu banyak kesaksian tentang kebahagiaan "jasmani" yang akan kita dapatkan waktu kita mengikut Yesus. Yang menjadi pertanyaan adalah : bagaimana dengan mereka yang tidak mendapatkan semua anugrah itu, apa yang terjadi ? Mengapa mereka dilewatkan dari anugrah itu ? Allah tidak adil ? Atau mereka kurang beriman ?

Kalau kita mencoba meneropong ke masa lalu, pada masa Yesus, bagaimana bentuk anugerah ini diberikan ? Siapa penerimanya ? Ternyata, boleh dicek kalau tidak percaya, jarang sekali para rasul mendapat kemewahan menikmati anugerah jasmani ini.

Hmmmm..... Apakah Yesus adalah sejenis Guru yang kurang perhatian ? Bagaimana dengan masa sesudah Yesus terangkat ke Surga ? Ternyata para Rasul juga jarang atau boleh dikatakan tidak dicatat mengalami berkat Jasmani ini. Yang ada adalah mereka melakukan mujizat untuk orang lain.

Tidak dicatat bisa berarti dua kemungkinan : 1. Tidak pernah terjadi. 2. Terjadi tapi tidak cukup penting untuk dicatat. Apapun itu, ternyata anugrah ini bukan menjadi sentral pemberitaan Injil. Mengapa ? Karena berkat jasmani seperti kesembuhan dan kekayaan itu nilainya jauuuuhhhhh lebih minor dibanding berkat Keselamatan yang begitu mahal dibayar dengan darah Kristus. Kita tidak perlu melirik ke arah sebuah gelang plastik, jika di dekat kita ada gelang emas berlian bukan ?

Seperti pada masa lalu, banyak orang mengharapkan dengan mengikuti Yesus mereka akan memperoleh happy ending dalam kehidupan mereka di dunia (bukan di Surga). Dan Yesus sendiri pernah menegur orang-orang ini juga. Mengapa kita pada masa sekarang ternyata juga mengikuti pola masa lalu ya ? Kita mengharapkan sebuah happy ending, tetapi tidak mau mengalami sebuah konflik dan pergumulan sebelumnya. Padahal, mana ada sih cerita (film atau buku) yang sepanjang cerita tokohnya berbahagia melulu, tidak ada pergumulan apa pun. Justru istilah happy ending diberikan karena dia berada di "end" of something, di akhir acara. Sebelum akhir, sepanjang acara, isinya tidak "happy".

Jadi apakah kita masih mengharapkan the real happy ending di surga ???? Atau kita cukup puas dengan a happy short story di bumi ?


Diinspirasikan dari khotbah Pdt.Sutjipto Subeno GRII Andhika 27 April 2008

Membuldozer rumah sendiri

Mungkin hanya manusia, makhluk yang katanya memiliki kecerdasan tertinggi, yang merupakan makhluk dengan logika yang tak terselami yang mampu melakukan berbagai aktifitas kreatif untuk menghancurkan rumah tempat tinggalnya sendiri.

Jika seseorang melakukan berbagai kegiatan yang menghancurkan rumahnya dengan martil, palu, atau buldozer, hanya ada dua opsi, pertama, ia akan membangun rumah baru yang lebih bagus, atau ia gila dan harus segera dibawa ke rumah sakit jiwa.

Tetapi manusia adalah makhluk yang dengan sadar melobangi atap rumahnya sendiri, membiarkan nyamuk-nyamuk ultra violet masuk menggerogoti kulitnya sendiri. Manusialah yang secara sadar mengeruk lantai rumahnya sendiri sehingga air dapat membanjiri tempat tidurnya. Manusia secara sadar membakar pelindung-pelindung di sekelilingnya sehingga menciptakan hawa panas yang menyengat. Ya, manusia yang merupakan ciptaan dengan kebijaksanaan satu-satunya.

Junk alias sampah

Berapa banyak sampah yang kita tumpuk di dalam diri kita. Berapa banyak sampah yang kita jejalkan ke pikiran kita yang kita peroleh dari film yang kita tonton, dari acara tv, dari lagu yang kita dengar, dari buku, artikel atau tabloid yang kita baca, dari percakapan dan gurauan dengan teman kita, pendeknya dari segala sesuatu yang kita serap tanpa seleksi, tanpa berpikir apakah sisi mulia dari semuanya itu ? Kalau dikatakan otak kita seperti rumah yang tidak pernah membuang apa pun yang sempat singgah di dalamnya, maka jika sampah yang kita masukkan lebih banyak dari emas mulia, maka bukankah akan sulit menemukan emas tersebut dalam timbunan sampah bukan ?

Kalau kita saja bisa jijik tinggal di tempat sampah, apalagi Roh Kudus. Karena tubuh kita adalah bait Roh Kudus dan tubuh itu sudah dibayar lunas, bukan milik kita yang bisa kita pakai untuk memuaskan kesenangan kita sendiri walaupun pemilik kita yang begitu murah hati sudah memberikan kebebasan mutlak kepada kita. Sudah berapa banyak sampah yang masuk ke tubuh kita, akankah kita masih mau menambahkan sampah-sampah baru ?

Hidup memang cuma satu kali, dan jika hidup itu hanya dipakai untuk keinginan manusia sendiri (padahal manusia tidak pernah jelas apa yang sebenarnya diinginkannya) maka seperti kata Pengkhotbah, semuanya itu adalah kesia-siaan, pada saatnya nanti kita akan menoleh ke belakang dan melihat betapa hidup kita benar-benar kosong. Tetapi manusia yang sudah mendapat anugrah besar dari sang pencipta sudah seyogyanya memakai seluruh tubuhnya untuk kemuliaan Tuhan, mulai dari bangun tidur, bekerja, bersantai hingga saatnya tidur kembali. Terdengar klise, but it is doable. Seperti ada tertulis bahwa segala sesuatu mungkin boleh dilakukan, tetapi tidak semuanya membangun.

Kerja paralel dengan bahagia ?????

Jarang sekali ada orang yang bahagia dengan pekerjaannya. Bagi banyak orang, bekerja hanyalah suatu cara untuk tetap hidup. Dan karena jarang sekali ada hal yang membahagiakan dalam pekerjaannya, tidak jarang orang bermimpi alangkah enaknya kalau kita mengerjakan pekerjaan sesuai passion kita, sesuai hobby kita, sesuai kesenangan kita dan tetap menghasilkan uang pula.

Tetapi kalau dipikir-pikir, manusia yang mortal seperti kita ini apakah pernah abadi dalam hal apa pun juga ? Termasuk dalam menyukai sesuatu ? Bagi yang suka melukis, setelah melukis itu menjadi profesi, apakah masih menyenangkan seperti sebelumnya ? Bagi penyanyi yang berawal dari hobby menyanyi, apakah benar menyanyi sampai sekarang masih semenggairahkan dulu ? Bagi yang suka main game, jika suatu hari nanti profesi anda mengharuskan anda bermain game setiap hari, apakah main game masih merupakan hal yang menyenangkan yang ditunggu-tunggu ? Bahkan cinta saja tidak abadi, apakah mungkin ada yang abadi di dunia ini ?

Seorang rekan menceritakan kembali kisah berikut ini :

Dua orang anak, si sulung dan si bungsu, anak seorang yang kaya. Setiap hari mereka bekerja untuk bapaknya. Apakah mereka bahagia dalam pekerjaannya ? Kelihatannya tidak.

Suatu hari si bungsu meminta bapaknya memberikan warisannya karena ia ingin berkelana, si bapak dengan sedih menurutinya. Si bungsu berfoya-foya menghamburkan uangnya hingga habis. Uang tak ada, teman pun lari.

Dalam kelaparan dan kesedihan, ia bekerja di kandang babi, karena kelaparan ia mencoba makan makanan babi. Dengan pilu ia mengingat, bahkan pelayan ayahnya pun hidup lebih layak dari dirinya sekarang. Ia merasa bersalah dan amat sedih.

Maka ia pulang kembali ke bapaknya untuk meminta maaf dan memohon untuk menghamba pada bapaknya. Tak dinyana setiap hari ternyata si bapak menunggu si anak pulang, maka saat ia melihat seorang yang lusuh di kejauhan, si bapak dalam hati tahu anaknya pulang. Ia berlari memeluk anaknya, mencium dan menangis. Si anak begitu terharu merasakan kasih si bapak. Si bapak amat bahagia dan merayakan kepulangan si anak dengan sebuah pesta. Apakah si bungsu bahagia karena pesta itu ? Bukan, tetapi karena si bapak memaafkan dan mengasihinya. Kasih si bapak amat membahagiakannya.

Sedang si sulung ? Ia iri bukan main.

Maka bila esok hari si bungsu dan si sulung bekerja di ladang yang sama kembali, apakah mereka berbahagia ? Adakah senyum di bibir mereka ? Dapat dipastikan si bungsu akan merasa bahagia, karena ia bekerja untuk bapaknya yang mengasihinya. Entah dengan si sulung ...

Mungkin terdengar klise, tetapi yakinlah itulah kunci bahagia dalam bekerja. Sampai mati pun, bekerja apa pun kita, yakinlah batin kita tidak akan pernah berbahagia, bahkan jika kita mengerjakan pekerjaan yang menyenangkan dengan gaji besar. Tetapi pekerjaan semenyebalkan apa pun, jika kamu bekerja bukan untuk dirimu sendiri tetapi untuk Dia yang sudah jauh lebih dulu menyayangi kamu, maka kamu akan berbahagia. Jika anda tidak bisa menangkap hal ini, silakan mencari-cari entah sampai kapan, tetapi yakinlah anda akan terus mencari, karena pencarian itu tidak akan pernah berakhir.


inspired by Chelcent's "the lost son" story
( if you read this, thank you Chelcent for the different way you told this story that day )

Baik vs Benar

Cobalah melihat sekeliling anda, pasangan anda, teman dan sahabat anda, tetangga anda, bahkan pimpinan anda, juga berbagai reality show kesayangan anda di TV, tentunya hati kita akan merasa hangat dan tentram menyadari ada begitu banyak orang baik mengelilingi kita. Kemudian cobalah memandang sekeliling anda lagi, lihatlah orang-orang yang mengitari anda, apakah mereka-mereka itu adalah orang-orang yang benar ?

Apakah kebaikan memiliki hubungan yang dekat dengan kebenaran ? Kelihatannya iya. Banyak orang meyakini iya. Biasanya yang baik itu pasti benar bukan ? Hmm.... atau tidak ?

Ternyata kedekatan hubungan antara baik dan benar hanyalah mitos yang diciptakan manusia sendiri. Manusia yang sulit ( baca : tidak suka ) mencapai standard kebenaran berusaha menciptakan kompromi dalam bentuk pendekatan lain yang diharapkan dapat memperoleh kesan indah yang sama. Seberapa sering kita menilai berdasarkan standard kebaikan bukan kebenaran ? ” Saya menyukainya, ia teman yang baik.” ” Ia adalah tetangga yang baik” ”Bos saya baik sekali” ”Sahabatku ini teman terbaik yang pernah ada”.

Bagaimana jika kita mengganti standard kebaikan yang merupakan ujian yang kita ajukan untuk menilai pasangan, teman, perusahaan, bahkan acara TV kesayangan kita menjadi ujian berbasis kebenaran. Apakah hasil lolos ujian atas semua ujian sebelumnya akan tetap sama ?

Kebaikan adalah merupakan comfort zone yang diciptakan seorang manusia. Karena kebaikan tidak perlu dicapai sepenuhnya. Manusia hanya perlu melakukan sebuah kebaikan kecil untuk mendapatkan penghargaan dan pemakluman dari manusia lainnya. Kebaikan ini lebih mudah dijual di media massa, bahkan jika anda melihat semua reality show saat ini, konsep inilah yang ditawarkan dengan gencar. Kebaikan ini juga dapat memancing air mata dan rasa trenyuh. Manusia akan mudah memberikan excuse kepada orang yang memiliki sedikit kebaikan. Bahkan konsep inilah yang sering diagung-agungkan, bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya jahat. Setidaknya pasti ada sedikit kebaikan dalam diri bahkan para teroris sekalipun. Sisi humanisme dan kebaikan inilah yang sering dijadikan senjata pembelaan seorang penjahat besar. ”Ya memang, ia sudah merampok bank dan membunuh satpam itu, tetapi sebenarnya ia adalah pria yang baik yang mencintai keluarganya, ia ingin anak-anaknya dapat bersekolah dengan baik dan dapat hidup lebih layak, itulah sebabnya ia merampok.”

Itulah beda terbesar antara kebaikan dan kebenaran. Dengan standard kebaikan, seorang manusia sudah dapat disebut baik jika ada sepercik saja kebaikan dalam dirinya. Artinya manusia yang sepersepuluh baik boleh disebut manusia yang baik. Sedangkan dengan standard kebenaran, seorang manusia sudah dapat disebut tidak benar jika ada sepercik saja ketidakbenaran dalam dirinya. Artinya manusia yang sembilan persepuluh benar sudah keluar dari himpunan manusia benar.

Masalahnya standard yang manakah yang dipakai oleh Allah ? Dalam sebuah buku (Kantor Detektif No.1) saya membaca tentang seorang tokoh wanita yang menyatakan untuk memilih pasangan hidupnya seorang wanita yang memiliki seorang ayah yang baik hanya perlu menanyakan sebuah pertanyaan kepada dirinya sendiri : Apakah yang akan ayahku pikirkan tentang diri calonku itu ?

Seharusnya standard pemilihan itu pulalah yang dipakai oleh seorang Kristen. Kita sudah jelas memiliki ayah yang baik, seberapa sering kita berpikir apa yang Bapaku pikirkan tentang calon pendamping hidupku, teman-temanku, perusahaan dimana aku melamar, dan sebagainya ? Atau kita bersikap seperti remaja pemberontak yang tidak mengerti kecerewetan orang tuanya dan merasa si ayah terlalu mengekang hidupnya (dan meninggalkan si ayah dalam sakit hatinya).

Seringkali orang Kristen seperti seseorang dengan kepribadian ganda yang menerapkan standard ganda sepanjang hidupnya. Di kalangan gereja, hukum Allah dan Firman Tuhan diterapkan. Di luar itu, giliran apa kata dunia, apa kata teman-temanku yang fun dan cool dan berpengaruh yang menjadi standard hidup yang disembah. Betapa melelahkan hidup semacam itu. Bukan hanya melelahkan, tetapi jika Bapa di Surga adalah ayah kita, benarkah kita tidak peduli betapa Ia akan sakit hati dan khawatir melihat anaknya bergaul dengan anak-anak dari musuhNya ? ( Jangan terlalu kaget membaca kalimat keras itu. Benar vs Tidak benar identik dengan Tuhan vs musuh Tuhan bukan ? Atau apakah anda setuju bahwa ada manusia yang tidak diklaim oleh Tuhan dan bahkan tidak diklaim juga oleh pihak yang lain ? ).

Maka sekarang, just take a good look to everybody surrounding you. Apakah mereka telah memenuhi standard kebenaran ? Atau anda cukup puas dengan standard kebaikan ? Ingat, kebaikan tertinggi dan terpenuh hanya dapat dicapai jika kebaikan itu telah memenuhi kualifikasi kebenaran. “The truth and nothing but the truth”.